Nama lokalisasi Saritem berasal dari
nama gadis belia asal kota kembang Bandung bernama Saritem. Dia memang
berparas cantik dan berkulit putih.
Pesona Saritem ternyata memikat seorang pembesar Belanda kala itu.
Kemudian Saritem dijadikan gundiknya. Sejak saat itulah, gadis Saritem
menjadi ‘Nyonya Belanda’. Namanya pun berganti menjadi Nyai Saritem.
Beberapa
tahun kemudian Saritem disuruh Kompeni Belanda tersebut mencari wanita
untuk dijadikan teman kencan serdadu Belanda yang masih lajang. Waktu
itu, daerah Gardujati dijadikan sebagai markas militer serdadu Belanda.
Untuk kegiatan itu Saritem difasilitasi sebuah rumah yang lumayan
besar. Lambat laun perempuan-perempuan yang dikumpulkan Saritem
bertambah banyak.
Saritem mengumpulkan perempuan-perempuan dari
berbagai daerah dari Bandung dan sekitarnya, seperti Cianjur, Sumedang,
Garut, dan Indramayu. Sejak itu nama Saritem mulai kesohor.
Yang
datang ke rumah yang dikelolanya pun bertambah banyak. Tidak hanya dari
kalangan serdadu yang lajang. Serdadu yang lanjut usia pun juga
berdatangan ke tempat Saritem. Bahkan beberapa warga pribumi ada juga
yang datang.
Hal ini membuat teman-teman Saritem yang juga
menjadi gundik tentara Belanda tertarik membuka usaha serupa. Mereka
rata-rata perempuan bekas binaan Saritem. Meski Saritem telah meninggal,
masyarakat mengenal lokasi itu dengan sebutan Saritem.
Di buku
Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay diceritakan
tentang Nyai. "Nyai" yang digunakan oleh Reggie Bay, berasal dari bahasa
Bali. Penggunaan kata tersebut bersamaan dengan kemunculan perempuan
Bali yang menjadi budak dan gundik orang-orang Eropa di wilayah
pendudukan VOC pada abad ke-17.
Gundik bisa disebut juga istri
tak resmi, perempuan simpanan. Atau perempuan yang difungsikan sebagai
pelepasan nafsu birahi. Seorang wanita pribumi setelah menjadi nyai,
setiap hari selalu khawatir menunggu giliran dibuang. Belum lagi saat
harus dipisahkan dengan sang anak.
Mereka yang lebih memilih cinta dari pada pundi-pundi uang lelaki
Eropa akan mendapat siksa. Mereka akan disalib di bawah terik matahari,
agar tidak pingsan, daerah kemaluannya dilumuri cabai Spanyol yang telah
ditumbuk.
Reggie Baay merupakan seorang penulis sekaligus
publisis. Ia dilahirkan di Leiden pada tahun 1955, kedua orang tuanya
yang dilahirkan di Indonesia. Sampai tahun 2005 menjadi redaktur majalah
Indische Letteren dan telah mempublikasikan banyak artikel di bidang
sejarah dan sastra kolonial.
Roman otobiografi Reggie Baay, yang berjudul De Ogen van Solo,
diterbitkan pada 2006 di Belanda. Roman ini berkisah mengenai sejarah
seorang ayah Indies dilihat dari kacamata sang anak. (ren)
"nasional.news.viva.co.id"













0 komentar:
Posting Komentar